
Setiap menjelang Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) seperti Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha, harga daging sapi selalu merangkak naik.
Padahal di sisi lain, pemerintah selalu menegaskan jika pasokan daging (segar lokal maupun beku impor) selalu berada diatas kebutuhan.
Seperti diketahui, Produksi daging sapi dalam negeri hingga tahun 2021 saja masih belum bisa memenuhi kebutuhan konsumen.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian (Kementan), untuk tahun 2021 saja, ketersediaannya hanya 473.814 ton dibandingkan kebutuhan yang mencapai 696.956 ton, sehingga terjadi defisit 223.142 ton. Untuk memastikan stok atau ketersediaan daging, Pemerintah memenuhinya dari beberapa sumber, yaitu dari sapi hidup (sapi bakalan), daging sapi beku impor bahkan daging kerbau beku impor.
Namun demikian, pada kenyataannya selalu terjadi kenaikan harga menjelang hari raya, mulai dari merangkak naik hingga melonjak tajam di beberapa daerah.
Bahkan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa, delta (perubahan) produksi daging sapi dibandingkan dengan konsumsi, selalu melebar terus setiap tahun.
Kemudian pertumbuhan produksi hanya 1,3 per per tahun, sedangkan pertumbuhan konsumsi daging sapi bisa mencapai 6 persen per tahun. Kondisi tersebut dikhawatirkan akan selalu menimbulkan gejolak harga setiap tahun. Untuk itulah diperlukan perlu pola pikir luar biasa. \
Pasar (komoditas) Daging, memang sangat spesifik dan berbeda dengan pasar biasa. Setiap daerah memiliki kebiasaan tertentu dalam mengkonsumsi daging sapi, sehingga sangat mempengaruhi mekanisme pasar daging.
Misalnya saat 7 hari sebelum Ramadhan, 7 hari sebelum Idul Fitri dan 1 bulan sebelum Idul Adha menjadi momen penting masyarakat umum mengkonsumsi daging.
Demikian juga tata kelola pasokan daging sapi menjelang Lebaran yang dimulai dari kepastian jumlah sapi di Rumah Potong Hewan (RPH) sampai H-7, Transportasi hingga H-7, tata kelola di RPH, Pengelolaan Gudang dari hasil samping (by product) seperti jeroan, kaki, kepala, lemak dan lainnya, hingga pasar untuk penggunaan chiller.
Daging segar tersebut kemudian didistribusikan ke pasar tradisional, pasar institusional (supermarket) hingga pasar online.
Di Hari Raya, konsumen lebih menyukai spesifik yaitu hanya daging saja, sehingga by product seperti jeroan, kaki, kepala lemak dan lainnya tidak laku.
Kondiisi tersebut tentu saja memberikan pengaruh biaya produksi pada RPH, yang pada akhirnya dibebankan kepada harga daging yang akan dibeli oleh konsumen.
Ditambah lagi dengan kondisi sebagian besar RPH menjelang Lebaran, dimana para petugasnya bekerja dengan peralatan yang sederhana serta waktu yang sangat terbatas, untuk bisa menghasilkan daging segar.
Tidak heran jika terjadi penumpukan sapi hingga 2-3 kali lipat, sebelum dilakukan pemotongan. Hal tersebut diatas tentu menimbulkan biaya tinggi.
Hal tersebut bisa berbeda jika konsumen sudah terbiasa mengkonsumsi daging segar beku dengan sistem stok untuk memenuhi kebutuhan per bulan. Bahkan pada hari raya sekalipun, ketersediaannya akan cukup kuat.
Namun selain faktor produksi dan supply demand, ada faktor lain yang menentukan mekanisme harga pasar daging, yaitu kompetitor, psikologi pasar (panic buying), kualitas dan stok barang.
Alih-alih menguntungkan konsumen karena harganya lebih murah daripada daging sapi,...
Setiap menjelang Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) seperti Ramadhan, Idul...
Menyembelih sapi sesuai dengan syariat Islam bukan hanya tentang memastikan...
Artikel ini membahas berbagai faktor yang mempengaruhi pertumbuhan sapi potong,...
Leave A Comment