Baik bedug yang terbuat dari kulit sapi maupun kulit kerbau, keduanya sama baiknya. Hanya saja, masing-masing memang memiliki keunggulan dan kelemahan sendiri-sendiri. Bedug dari kulit sapi misalnya, memiliki karakteristik suara yang lebih nyaring. Lain halnya dengan bedug yang dibuat dari kulit kerbau yang menghasilkan suara lebih rendah, tetapi dikenal lebih tahan lama.
Meski terdapat perbedaan bahan, tetapi pada dasarnya bunyi bedug nyaris sama saja, kecuali didengarkan oleh orang yang memang ahli di bidang perbedugan. Selain dipengaruhi kelenturan jenis kulit sapi maupun kerbau yang berbeda, bunyi bedug bisa saja berbeda tingkat kenyaringannya lantaran perbedaan bahan dan bentuk ‘badan bedug’.
Pada dasarnya, bedug bisa dibuat dengan berbagai macam kayu. Namun, kayu jati terbilang bahan bedug yang terbaik. Selain dikenal kuat, kayu jati juga dikenal tahan lama, sehingga masa penggunaan bedug juga lebih panjang. Lalu, badan bedug yang memiliki bagian menggembung di tengah, akan menghasilkan resonansi suara yang lebih menggelegar. Salah satu pengrajin bedug yang menggunakan teknik ini adalah Zainal Arifin, pemilik bengkel kerajinan bedug di Dusun/Desa Jeruk Seger, Mojokerto.
’’Sebenarnya tiap perajin punya ciri sendiri. Kalau saya, ada gembung di tengah. Ini agar resonani suaranya menggelegar,’’ kata pria tamatan IKIP Malang tersebut sebagaimana dilaporkan dari Jawa Pos Radar Mojokerto awal tahun lalu.
Ia menyebutkan bahwa proses pembuatan bedug diawali dengan pemotongan kayu, kemudian pemekaran kayu. Proses tersebut dilakukan dengan hati-hati agar kayu tidak sampai patah. Selanjutnya, proses dilanjutkan dengan pemasangan bilah kayu yang juga harus dilakukan dengan ekstra hati-hati. Bedug pun dikatakan baru setengah jadi jika sudah terbentuk badannya, yaitu seperti tabung, tetapi tanpa penutup pada kedua sisinya. Barulah kedua sisi itu ditutup dengan kulit sapi atau kerbau tadi.
Terlepas dari karateristik masing-masing pada kulit sapi maupun kerbau, kulit yang dipasang pada kedua sisi tersebut jika bisa elastis, maka resonansi suara yang dihasilkan pun lebih bagus.
Bedug sendiri sebenarnya bukan instrumen asli Indonesia. Alat musik ini berasal dari India dan juga China. Merujuk pada legenda Cheng Ho dari Negeri Tirai Bambu, dulu Laksamana Cheng Ho yang datang ke Semarang mendapatkan sambutan baik para Raja Jawa kala itu.
Dikisahkan bahwa Laksamana Cheng Ho ingin memberikan hadiah kepada Raja Jawa, dan sang raja pun mengatakan ingin mendengarkan suara dari bedug. Sejak pemberian hadiah itulah, bedug kemudian menjadi bagian dari masjid. Bedug pun menjadi semakin lazim digunakan di masjid-masjid atau langgar-langgar (mushola-masjid kecil). Bedug dipukul sebagai pertanda waktu sholat telah tiba, karena dulu belum ada pengeras suara.
Di negeri asalnya, juga di Korea dan Jepang, bedug pun digunakan sebagai alat ritual keagamaan. Justru lantaran sejarahnya inilah kemudian penggunaan bedug di Tanah Air sempat menuai masalah. Pada masa Orde Baru, pemerintah sempat mengeluarkan bedug dengan alasan mengandung unsur non Islam. Sebagai pertanda masuknya waktu sholat pun kemdian dengan pengeras suara saja. Namun, tak semua kalangan menyetujui hal ini. Warga NU misalnya menolak hal tersebut, sehingga tak mengeherankan bedug pun masih banyak dilihat pula di Nusantara.