Ada dua jenis pijat tradisional di Indonesia, yaitu pijat dan urut. Yang dimaksud dengan pijat lebih banyak mengarah kepada relaksasi dan meringankan rasa lelah tubuh dengan melemaskan otot-otot yang kaku melalui gerakan meremas-remas.
Sedangkan urut digunakan untuk mengobati cidera yang lebih serius dan patah tulang. Urut tidak hanya pada otot namun juga jalur saraf. Tujuannya adalah mendorong sirkulasi darah yang lebih baik. Gerakan urut hampir sama dengan pijat, hanya saja tekanannya yang lebih kuat dan memerlukan keterampilan tambahan.
Seorang tukang urut dan pijat harus memiliki pengetahuan mengenai anatomi, struktur tulang, jalur saraf, dan titik-titik tekan untuk menyembuhkan secara efektif.
Setiap daerah biasanya memiliki tukang pijat yang di favoritkan oleh penduduk di sekitarnya. Untuk wilayah Dusun Karangtengah, Desa Jaten, Selogiri, Wonogiri, salah satunya tukang pijat yang cukup terkenal adalah tunanetra berusia 64 tahun yang bernama Mbah Rebi.
Walaupun memiliki keterbatasan, Mbah Rebi sangat trampil memijat, pelanggannya tersebar mulai dari wilayah Selogiri, kota Wonogiri hingga ke Sukoharjo.
Beberapa waktu yang lalu, nama Mbah Rebi menjadi pembicaraan banyak orang. Bukan bicara negatif, tapi justru trenyuh dan kagum. Bayangkan saja, dengan keterbatasannya Mbah Rebi mampu membeli sapi kurban seharga Rp21 juta.
Sapi tersebut kemudian diserahkan kepada panitia hari besar Iduladha Masjid Muhammad Ibnu Sa’ad Al Zaid di desanya dan telah disembelih pada Rabu (21/7/2021)
Uang untuk membeli sapi dikumpulkan oleh Mbah Rebi dari dari bayaran sebagai tukang pijat panggilan yang disisihkan dan ditabung setiap hari. Cara itu telah dilakukan sejak puluhan tahun yang lalu. Luar biasa!
Dilansir dari Solopos.com, Rebi mengalami gangguan penglihatan sejak kecil. Perlahan-lahan, ia kehilangan daya penglihatan hingga akhirnya buta total sejak duduk di bangku SD. Namun kondisi fisik tak sempurna ternyata tak mengendurkan semangatnya untuk memberi kurban sapi.
Mbah Rebi telah menjadi sosok inspiratif yang patut ditiru dan diapresiasi di tengah badai pandemi Covid-19. Rasa solidaritas dan empati tinggi harus terus dibangun tanpa mengenal latar belakang pekerjaan, pendidikan, dan status sosial di masyarakat.
Sumber: suara.com