Secara fisik, sapi Madura mudah dibedakan dengan jenis sapi lokal yang lain karena memiliki ciri khusus yaitu : bulunya berwarna merah bata agak kekuningan tetapi bagian perut dan paha sebelah dalam berwarna putih. Kemudian ukuran tubuhnya tergolong kecil, dengan kaki pendek namun kuat.
Bagi masyarakat Madura, sapi ini selain berfungsi sebagai sapi untuk dipotong dan diambil dagingnya, juga umum digunakan sebagai alat transportasi masyarakat di daerah pedalaman yang disebut sebagai Sapi Pajikaran.
Istilah Pajikaran berasal kata “jikar”, sebutan untuk transportasi atau kendaraan zaman dahulu yang digunakan untuk mengangkut aneka macam barang keperluan sehari-hari masyarakat. Jikar fungsinya mirip gerobak dengan tambahan atap seperti rumah berukuran kecil , dilengkapi dengan dengan dua buah roda yang dibuat dari perpaduan kayu dan besi
Secara tampilan dapat dikatakan mirip dengan andong. Perbedaannya, jika andong di tarik dengan kuda, maka jikar ditarik olah sapi jantan
Selain itu, Sapi Madura berjenis kelamin jantan juga digunakan oleh masyarakat di Pulau Madura sebagai bagian dari tradisi yaitu karapan sapi. Demikian juga dengan betinanya, setelah didandani, diberi hiasan, lalu berlenggak-lenggok mengikuti irama gamelan dikenal sebagai sapi sonok. Atas dasar beberapa alasan tersebut diatas, Sapi madura tidak hanya dianggap aset pulau garam ini tapi juga aset nasional yang harus dijaga.
Salah satu caranya adalah dengan membentuk Pusat Riset dan Pengembangan (Risbang) Sapi Madura yang dilakukan oleh Universitas Trunojoyo Madura (UTM) dan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Penurunan Kualitas Sapi Madura
Sapi Madura dalam perkembangannya merupakan hasil pembauran dari berbagai jenis sapi potong yaitu antara sapi Bali (Bos sondaicus) dengan Zebu (Bos indicus). Selain itu, beberapa jenis sapi potong lain juga pernah dimasukkan ke pulau Madura, antara lain Red Denis, Santa Gestrudis dan pejantan persilangan antara Shorthorn dengan Brahman yang kesemuanya memiliki warna merah coklat
Tahun 2012, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) Kementerian Pertanian telah melakukan Survei Karkas. Hasil penimbangan karkas di Kota Surabaya, didapatkan bobot karkas mengalami penurunan dibandingkan tahun 2009. Dan sapi dengan bobot terendah adalah Sapi Madura.
Kemudin untuk mengetahui lebih jauh tentang bobot badan ternak sapi saat dipotong berdasarkan rumpun, jenis kelamin dan umur, pada tahun anggaran 2013 Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur bekerjasama dengan petugas dinas peternakan kabupaten/kota mengadakan pelaksanaan kegiatan Survey Data Parameter Karkas Sapi yang dilaksanakan di kabupaten/kota di Jawa Timur
Hasil survey menunjukkan bahwa rata-rata bobot badan Sapi Madura saat dipotong adalah 316,48 kg. Bobot terendah sebesar 181,83 kg dan bobot tertinggi sebesar 448,48 kg. Secara keseluruhan Sapi Madura yang dipotong dalam keadaan kurus sebesar 15,94 %, keadaan sedang 63,77 % dan keadaan gemuk 20,29 %. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa, kualitas sapi madura masih cukup baik, karena ada banyak sapi Madura yang masih dapat digemukkan.
Penurunan kualitas ternyata sebagian besar terjadi pada sapi yang dipelihara oleh peternak kecil. Beda dengan peternak besar yang menggantungkan hidupnya dari hasil keuntungan budidaya sapi, para peternak kecil atau yang biasa disebut peternak rakyat ini, memelihara sapi sebagai tabungan yang baru dijual saat membutuhkan uang.
Agar kualitas sapi madura tetap terjaga, alangkah baiknya jika peternak kecil mulai memikirkan segi bisnis. Bisa dimulai menunda penjualan sapi madura untuk dipotong, paling tidak sampai mencapai umur dua sampai 2,5 tahun agar bobot dagingnya meningkat.
Karena, berdasarkan penelitian, program penggemukan terhadap 35 % sapi yang kurus dengan cara meningkatkan kualitas pakan, lingkungan, kesehatan hewan, serta tatalaksana pemeliharaan, dapat meningkatkan bobot potong hingga 15,76 kg per ekor. Terlihat jelas bahwa potensi genetik Sapi Madura sebenarnya masih cukup tinggi.
Pemurnian Genetika Sapi Madura
Populasi sapi Madura di pulau Garam mencapai 600.000 ekor lebih sehingga menjadikan pulau Madura dijuluki sebagai pulau dengan populasi sapi “terpadat di dunia”. Sedangkan sapi madura dianggap sebagai kekayaan alam atau plasma nutfah dari Indonesia yang wajib dilindungi dan dikembangkan.
Oleh sebab itu, ada sebuah keputusan yang dibuat oleh Kongres dokter hewan dan ahli peternakan, yang dilangsungkan di Pamekasan pada tahun 1925, yang menjadi cikal bakal staadblaat No.57 tahun 1934, yang pemurnian sapi Madura.
Untuk menjaga keputusan ini tetap bertahan, dilakukan Revisi staadblaat No.57 tahun 1934 ddengan UU No.6 tahun l976 tentang pokok-pokok peternakan dan kesehatan hewan. Selanjutnya direvisi kembali dengan UU No.18 tahun 2009 tentang Kesehatan Hewan dan Peternakan, yang masih mencantumkan pasal Pemurnian sapi Madura di Pulau Madura.
Artinya, kebijakan tersebut terus dipertahankan. Diperkuat pula dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 3735/kpts/Hk.040/11/2010 tanggal 23 november 2010 tentang penetapan sapi Madura sebagai rumpun ternak lokal Indonesia.
Namun pada prakteknya, perkembangan sapi Madura dari tahun ke tahun cenderung terus merosot. Diduga disebabkan oleh beberapa faktor, mulai dari Inbreeding (kawin sedarah), faktor pakan, manajemen pemeliharaan dan faktor sosial budaya lainnya. Upaya penanggulangan permasalahan tersebut diatas pernah dilakukan namun tidak berkelanjutan.
Sebagi contoh, pada tahun 1980-an, pemerintah menggalakkan perbaikan pakan ternak (hijauan makanan ternak) melalui Satgas IFAD. Kemudian pada periode tahun sembilan puluhan pernah dilakukan upaya perbaikan keturunan, melalui kegiatan Village Breeding Centre (VBC) dengan Inseminasi buatan atau kawin suntik.
Selanjutnya sejak tahun 2000-an, melalui sebuah simposium tentang sapi Madura, diperkenalkan kawin silang (crossbreed) dengan straw sapi eksotik jenis Limousine dan simental di Kabupaten Sumenep.
Namun karena respon masyarakat terhadap sapi hasil kawin silang dengan sperma jenis simental rendah, mulai tahun 2002 dihentikan dan hanya diperkenankan kawin silang yang menggunakan straw limousine sampai sekarang.
Kebijakan crossbred ini ternyata mengundang perdebatan cukup panjang yang memecah masyarakat menjadi menjadi 3 kubu. Yang pertama, masyarakat yang ingin kemurnian sapi madura harus terus dijaga. Yang kedua, terhadap sapi Madura perlu dilakukan introduksi gen unggul melalui kawin silang dengan bangsa sapi lain. Untuk sementara yang setuju dengan penyilangan masih cukup besar karena hasil kawin silang menunjukkan hasil positif.
Yang ketiga adalah kebijakan jalan tengah, artinya di pulau Madura akan dibebaskan kawin silang tetapi khusus untuk pemurnian sapi Madura akan dilakukan di Pulau Sepudi Kabupaten Sumenep. Dalam dua tahun terakhir perhatian Pemerintah Propinsi Jawa Timur terhadap Sapi Madura cukup besar, kelembagaan dan personal Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kesehatan dan Pembibitan sapi Madura yang berkedudukan dan berkantor di Bakorwil VI Pamekasan telah dibentuk, demikian juga dana-dana bantuan ternak sapi baik dari sumber APBD I dan APBN cukup banyak, namun sasaran penerima bantuan tersebut masih dipertanyakan.