Sapi Brahman termasuk spesies Bos indicus, yang telah berabad-abad hidup dengan kondisi wilayah India yang kekurangan ketersediaan pakan, sering mendapat serangan hama serangga, serta iklim yang ekstrim. Kondisi tersebut justru menyebabkan sapi brahman mempunyai daya adaptasi yang luar biasa untuk dapat bertahan hidup dengan beberapa kelebihan. Diantaranya, persentase karkasnya bisa mencapai 45%. Istimewanya lagi, persentase karkas tersebut bisa didapat dari pakan jenis apapun yang diberikan, termasuk pakan yang jelek.
Dari India, Sapi brahman kemudian dimasukkan ke Amerika pada tahun 1849, dengan tujuan untuk dikembangkan dengan cara diseleksi dan ditingkatkan mutu genetiknya. Sapi Brahman memang layak dipilih, selain karena daya tahan dan kemampuan beradaptasi yang tinggi, tetapi juga hybrid vigour-nya atau penampilan berupa penyimpangan yang diharapkan dari penggabungan dua sifat yang dimiliki oleh sapi yang menjadi nenek moyangnya memang menunjukkan hal yang positip.
Sapi Brahman nantinya juga banyak dimanfaatkan pada program crossbreeding, karena lebih resisten terhadap caplak dan penyakit, tahan terhadap panas dan kekeringan, sifat dan tingkah laku induk-anak yang baik, umur produksinya panjang (bisa mencapai 15 tahun), serta performa yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai sapi pekerja yang handal.
Setelah berhasil meningkatkan mutu genetiknya, Amerika Serikat mengekspor Sapi Brahman ke berbagai negara, termasuk Indonesia yang mengimpornya pada zaman penjajahan Belanda.
Karena terbukti memiliki banyak keunggulan, maka perkumpulan para pembibit sapi brahman di Amerika Serikat, sepakat untuk membentuk American Brahman Breeder Association untuk pengembangan lebih lanjut. Sedangkan perkumpulan para pembibit sapi brahman di Australia menggunakan nama Australian Brahman Breeder Association.
Bahkan untuk menciptakan jenis sapi lain yang sesuai dengan kondisi Australia, pada tahun 1933 para pembibit sapi di negara tersebut melakukan persilangan sapi Brahman dengan bangsa sapi lainnya seperti Simmental, Herefod dan Limousin asal amerika, hasilnya dikenal dengan nama sapi Brahman Cross .
Sapi Brahman Cross dikembangkan di stasiun CSIRO’s Tropical Cattle Research Centre Rockhampton Australia, dengan materi dasar sapi Brahman, Hereford dan Shorthorn dengan proporsi darah berturut-turut 50%, 25% dan 25% (Turner, 1977), sehingga secara fisik bentuk fenotip dan keistimewaan sapi Brahman cross cenderung lebih mirip sapi Brahman Amerika karena proporsi darahnya lebih dominan.
Pemerintah Indonesia kemudian juga tertarik untuk mengimpor Sapi Brahman Cross dari Australia untuk dikembangbiakkan di sulawesi pada tahun 1973, melalui program bantuan Asian Development Bank (ADB).
Setelah sampai di Sulawesi dan dilakukan pengamatan, sapi Bx tersebut menunjukkan hasil yang cukup baik, persentase beranak 40,91%, calf crops (panen pedet) 42,54%, mortalitas pedet 5,93%, mortalitas induk 2,92%, bobot sapih (8-9 bulan) 141,5 Kg (jantan) dan 138,3 Kg betina, dan pertambahan bobot badan sebelum disapih sebesar 0,38 Kg/ hari.
Pada tahun 1975, sapi Brahman cross didatangkan ke pulau Sumba dengan tujuan utama untuk memperbaiki mutu genetik sapi Ongole di pulau Sumba. Importasi Brahman cross dari Australia untuk UPT perbibitan (BPTU Sembawa) dilakukan pada tahun 2000 dan 2001 dalam rangka revitalisasi UPT.
Data-data tersebut diatas, membuktikan bahwa Sapi Brahman ternyata cocok untuk dikembangbiak disini. Oleh sebab itu, dalam upaya pencapaian swasembada daging, Pemerintah Indonesia menganggap Sapi Brahman memiliki peran yang sangat penting.
Pada tahun 2006 dan 2007, berbagai upaya pun dilakukan, baik melalui program-program perbibitan baik secara nasional maupun daerah, juga penjaringan betina bunting Brahman Cross ex. Australia pada feedlotter yang ada di Indonesia. Penyebaran di Indonesia dilakukan secara besar-besaran mulai tahun 2006 dalam rangka mendukung program percepatan pencapaian swasembada daging sapi 2010.
Secara signifikan memang telah terjadi penambahan populasi Brahman Cross di Indonesia, baik dari sisi pengadaan induk maupun anak kelahiran pertama. Namun, pemeliharaan sapi Brahman Cross dipeternakan rakyat, malah terjadi sebaliknya. Umumnya mengalami kelambanan reproduksi yang sering disebut sebagai slow breeder.
Ada beberapa hal yang menyebabkan hal tersebut terjadi, mulai dari dipaksa memakai tali hidung, dikandangkan sendiri atau dalam kelompok kecil dengan luas tempat sempit sehingga gerakannya terbatas. Belum lagi faktor lain seperti sapi belum sepenuhnya beradaptasi dengan lingkungan disekitarnya, serta pemberian pakan yang kurang memadai.
Pada saat terjadi perubahan lingkungan, apalagi ditambah adanya stres karena cuaca yang sangat panas, terjadilah depresi reproduksi (reproductive depression). Gejalanya terlihat jelas, pada sapi yang belum bunting tidak menunjukkan gejala birahi sama sekali. Kemudian setelah sapi bunting dan beranak, tidak bisa bunting lagi. Serta seringnya terjadi kawin berulang pada sapi yang birahinya tampak normal.
Akibatnya, banyak sekali sapi Brahman Cross yang mengalami perdarahan (keluar darah segar bercampur lendir dari vulva) beberapa hari setelah birahi, sehingga timbul mitos tentang sapi Brahman Cross yang sulit bunting kembali setelah beranak.
Sapi Brahman Cross Program SMD
Untuk kebutuhan program SMD (Sarjana Membangun Desa), Pemerintah Indonesia pada tahun 2008 pernah mendatangkan ribuan sapi-sapi indukan Brahman Cross yang dari Australia. Sapi-sapi bunting tersebut dibagikan kepada ratusan kelompok ternak, dengan melibatkan sarjana sebagai manajer kelompok. Harapannya, sapi akan beranak pinak.
Tapi pada kenyataannya, ribuan ekor sapi Brahman Cross tersebut habis tak berbekas. Penyebab utamanya, reproduksinya tidak bagus. Pada awalnya Sapi BX bisa bunting dan melahirkan, tapi setelahnya sulit bunting lagi. Akhirnya, peternak yang mendapat sapi Brahman Cross tersebut, lebih memilih untuk menggemukan saja kemudian dijual.
Belajar dari Kegagalan
Pemeliharaan sapi induk pasti targetnya adalah bunting dan punya pedet (anak sapi). Demikian pula program besar pemerintah yang mengimpor 25 ribu sapi induk BX dari Negeri Kanguru, tujuannya adalah pengembangbiakan dan ujungnya adalah peningkatan populasi. Maka reproduktivitas menjadi titik krusial.
Ketua Amervi (Asosiasi Medik Reproduksi Veteriner Indonesia), Agung Budiyanto yang dikenal sebagai pakar ilmu kandungan dan kebidanan sapi membenarkan problem performa reproduksi sapi-sapi induk BX pada program SMD 2008. Sapi-sapi tersebut memang tak mampu beranak pinak, akhirnya dijual dan berakhir di rumah jagal.
Persoalan pertama, tingkat stres sapi BX yang dibawa ke Indonesia sangat tinggi. Bagaimana tidak? Peternak sapi di Australia hampir semua menerapkan budidaya ekstensif dengan sistem pastura. Dimana sapi-sapi tersebut dibiarkan bebas berkeliaran di paddock (padang gembalaan) yang luasnya puluhan bahkan ratusan ribu hektar. Walaupun akibatnya, sapi cenderung menjadi liar, temperamental, dan galak. Sumber pakan sepenuhnya mengandalkan aktivitas merumput yang tersedia ad libitum (tak terbatas) tumbuh di paddock. Reproduksi sapi juga mengandalkan kawin alami, yaitu sapi betina dibiarkan berbaur dengan sapi jantan.
Sedangkan di Indonesia, pasti sapi tersebut mengalami stress tingkat tinggi. Bayangkan, di tempat asalnya, sapi BX jarang sekali berinteraksi dengan manusia. Tapi setelah sampai di Indonesia, sapi BX dipaksa untuk berurusan dengan manusia sejak keluar dari kapal pengangkut dan masuk ke truk. Kemudian untuk reproduksinya juga tidak alami, melainkan dengan Inseminasi Buatan (IB). Yang mana sapi harus masuk ke kandang jepit, untuk memudahkan inseminator memasukkan sperma sapi pada tempatnya
Persoalan kedua adalah masalah pakan. Sapi BX yang berada di kandang peternak rakyat diberikan pakan dengan jumlah terbatas, sesuai kemampuan peternaknya. Bahkan tak jarang hanya jerami. Kalaupun diberi rumput hanya semampunya peternak menyabit di sawah.
Jika sapi Bx mau memakan jerami, sudah pasti telah nencapai titik kelaparan yang luar biasa. Karena nutrisi dari jerami jerami hanya cukup untuk hidup bukan untuk hamil hingga melahirkan. Karena sel telur tidak terbentuk, jika sapi kekurangan nutrisi.
Sebagai solusi untuk dalam menyikapi permasalahan tersebut diatas adalah:
- Peliharalah Sapi BX dengan cara dilepas pada dengan tempat umbaran, agar bisa bergerak bebas.
- Perbaikan pada SKT (Standar kondisi Ternak) agar optimum untuk reproduksi, yaitu berada pada score 3,0-3,5.
- Berikan obat cacing berspektrum luas secara berkala.
- Lakukan pemeriksaan khusus infertilitas / identifikasi kasus
- Aplikasi induksi birahi dan ovulasi, dengan sediaan progestagen, PGF, maupun kombinasi dengan GnRH.